PALANGKA RAYA
– Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Tengah (Kalteng) akan membentuk tim
khusus yang akan mengawasi perkebunan kelapa sawit di daerah ini. Tim tersebut
akan mengawasi sejauh mana tiap perkebunan merealisasikan kewajiban membangun kebun
plasma minimal 20 persen dari areal perusahaan mereka untuk masyarakat sekitar.
“Kita akan membentuk tim khusus itu. Tim itu nantinya akan menilai keseriusan para investor perkebunan besar sawit untuk membangun plasma minimal 20 persen dari luas areal yang diberikan,” tegas Wakil Gubernur Kalteng H Achmad Diran akhir pekan tadi.
Dia merinci, dari 11 juta hektare areal perkebunan yang beroperasi di Bumi Tambun Bungai ini, baru 11 persen areal perkebunan rakyat atau plasma yang sudah terbangun. Untuk itu, pemberian plasma oleh perusahaan menjadi perhatian serius Pemprov Kalteng.
Kewajiban perusahaan untuk menyediakan plasma ini, sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 tahun 2011 tentang pengelolaan usaha perkebunan perkelanjutan di Kalteng. Dalam peraturan tersebut perusahaan perkebunan yang beroperasi di wilayah Kalteng untuk menyediakan perkebunan rakyat.
“Untuk sekarang peraturan itu masih di sosialisasikan, tetapi kalu perda ini sudah berjalan selama 2 tahun, maka perusahaan perkebunan kelapa sawit wajib menyediakan perkebunan plasma,” tegasnya.
Untuk mewujudkan hal ini, maka kewajiban dari kepala daerah untuk membantu perusahaan perkebunan yang telah tidak memiliki izin penggunaan lahan dengan menyediakan lahan bagi perkebunan rakyat.
Mantan Bupati Barito Selatan ini menyadari bahwa para bupati mengalami kendala dalam menentukan lokasi karena banyaknya wilayah yang dianggap Hutan Produksi (HP) yang berdekatan dengan perusahaan perkebunan dan menurut Permenhut tidak boleh diganggu. Namun demikian, Kementerian Kehutanan tentunya tidak tahu bagaimana lokasi yang sebenarnya.
“Lokasi yang dahulu dianggap Kemenhut sebagai HP ternyata saat ini hanya berisi semak belukar, sedangkan areal yang dianggap sebagai semak belukar, ternyata saat ini telah menjadi hutan. Untuk itu, saya meminta kepada semua Bupati untuk menginventarisir kebutuhan lahan yang diperlukan untuk perkebunan rakyat,” terangnya.
Diran mengungkapkan, dirinya memberikan waktu selama 2 minggu untuk melakukan inventarisir untuk selanjutnya data tersebut diajukan kepada pihak pusat guna dimintai dispensasi pelepasan kawasan. Perusahaan perkebunan diharapkan tidak tinggal diam, tetapi turut mengawal kegiatan tersebut agar dapat cepat selesai.
“Saya optimis, apabila semua pihak bekerja dengan semestinya, maka 20 persen perkebunan rakyat akan tercapai dua tahun lagi dan masyarakat tidak akan melakukan demo karena menuntut haknya. Karena semua pihak dapat menikmati keuntungan dari adanya perkebunan dai Kalteng ini,” jelasnya.
Belum Memihak Rakyat
Sementara itu, Peraturan Daerah (Perda) Kalteng Nomor 5 tahun 2011 tentang Pengelolaan Usaha Perkebunan Berkelanjutan langsung menuai reaksi. Pasalnya, perda tersebut dinilai belum sepenuhnya berpihak pada rakyat.
Perda tersebut dinilai masih menguntungkan para pengusaha dan merugikan rakyat. Karena itu, Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang didesak harus meninjau kembali Perda tersebut.
Direktur Save Our Borneo (SOB) Nordin mengungkapkan hal itu setelah diundang dalam sosialisasi penerapan Perda tersebut bersama sejumlah investor perkebunan sawit di Kalteng. “Dari paparan dan dokumen cetak perda tersebut yang sudah final, terdapat ayat-ayat dalam pasal 18 Perda tersebut yang jelas-jelas sangat merugikan rakyat dan sangat menguntungkan investor perkebunan sawit,” katanya.
Ayat dimaksud tercantum dalam ayat (4) yang menyebutkan, bagi perusahaan perkebunan yang kebunnya telah terbangun tetapi belum melakukan pembangunan kebun bagi masyarakat sekitarnya, secara bertahap segera membangun kebun bagi masyarakat, dengan batasan waktu paling lambat 2 tahun sejak berlakunya Peraturan Daerah ini. Serta ayat (5), lahan untuk pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berasal dari lahan masyarakat sendiri, atau lahan lain yang jelas status kepemilikannya.
Menurut Nordin, yang jadi masalah adalah ayat 4, dimana sebenarnya yang menjadi tuntutan warga selama ini adalah lahan untuk pembangunan kebun masyarakat seharusnya berasal dari HGU (Hak Guna Usaha) perusahaan yang disisihkan untuk masyarakat seluas 20% dari luas HGU yang dimiliki perusahaan.
“Jika ketentuannya adalah seperti ayat 5, dimana Lahan untuk pembangunan kebun masyarakat berasal dari lahan masyarakat sendiri, maka akan terjadi beberapa hal, diantaranya, lahan untuk diversifikasi usaha masyarakat guna keperluan pertanian dan lainnya akan habis tergerus untuk sawit semuanya, sehingga akan lebih menampakan situasi monokultur yang sangat tidak ramah lingkungan. Akibatnya, investor kelapa sawit raksasa dapat mencari kambing hitam untuk menyalahkan rakyat sebagai pelaku kerusakan lingkungan,” jelasnya.
Kemudian, lanjut Nordin, ketahanan pangan dan kemampuan produksi pangan masyarakat secara mandiri ditingkat lokal akan hancur, karena alat produksinya hilang bersamaan dengan sawitisasi massif yang disokong kebijakan perda. Masyarakt tidak bisa lagi berladang, berkebun, berburu, atau lainya karena seluruh lahannya akan dan hanya menjadi kebun sawit, sementara PBS tidak sejengkalpun terusik karena mereka tidak diwajibkan menyerahkan 20% lahan HGU mereka untuk rakyat.
Akibat dari beberapa hal tersebut, tegas Nordin, akan muncul sengketa horizontal antar warga yang saling mengklaim lahan. Selain itu, akan memunculkan bisnis SKT tanah oleh makelar tanah. dan ini akan sangat berbahaya. dalam jangka panjang.
“SOB menyesalkan ayat dalam pasal tersebut yang sangat jelas berpihak kepada perkebunan sawit, bukan kepada rakyat. SOB meyakini ada lobby kuat dari perkebunan sawit untuk menyesatkan ayat-ayat dimaksud. Hal ini karena sepengetahuan SOB bahwa Gubernur Kalteng Teras Narang pernah menyebutkan bahwa lahan 20% untuk warga sekitar adalah dan harus disisihkan dari HGU perusahaan, bukan justru menghantam tanah-tanah rakyat,” tegasnya.
Karena itu, kata Nordin, SOB meminta Gubernur meninjau kembali perda ini, karena sudah lepas dari semangat untuk memberikan keadilan distribusi tanah dan reforma agraria bagi rakyat di Kalteng yang hidup di sekitar perkebunan sawit.
“Kita akan membentuk tim khusus itu. Tim itu nantinya akan menilai keseriusan para investor perkebunan besar sawit untuk membangun plasma minimal 20 persen dari luas areal yang diberikan,” tegas Wakil Gubernur Kalteng H Achmad Diran akhir pekan tadi.
Dia merinci, dari 11 juta hektare areal perkebunan yang beroperasi di Bumi Tambun Bungai ini, baru 11 persen areal perkebunan rakyat atau plasma yang sudah terbangun. Untuk itu, pemberian plasma oleh perusahaan menjadi perhatian serius Pemprov Kalteng.
Kewajiban perusahaan untuk menyediakan plasma ini, sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 tahun 2011 tentang pengelolaan usaha perkebunan perkelanjutan di Kalteng. Dalam peraturan tersebut perusahaan perkebunan yang beroperasi di wilayah Kalteng untuk menyediakan perkebunan rakyat.
“Untuk sekarang peraturan itu masih di sosialisasikan, tetapi kalu perda ini sudah berjalan selama 2 tahun, maka perusahaan perkebunan kelapa sawit wajib menyediakan perkebunan plasma,” tegasnya.
Untuk mewujudkan hal ini, maka kewajiban dari kepala daerah untuk membantu perusahaan perkebunan yang telah tidak memiliki izin penggunaan lahan dengan menyediakan lahan bagi perkebunan rakyat.
Mantan Bupati Barito Selatan ini menyadari bahwa para bupati mengalami kendala dalam menentukan lokasi karena banyaknya wilayah yang dianggap Hutan Produksi (HP) yang berdekatan dengan perusahaan perkebunan dan menurut Permenhut tidak boleh diganggu. Namun demikian, Kementerian Kehutanan tentunya tidak tahu bagaimana lokasi yang sebenarnya.
“Lokasi yang dahulu dianggap Kemenhut sebagai HP ternyata saat ini hanya berisi semak belukar, sedangkan areal yang dianggap sebagai semak belukar, ternyata saat ini telah menjadi hutan. Untuk itu, saya meminta kepada semua Bupati untuk menginventarisir kebutuhan lahan yang diperlukan untuk perkebunan rakyat,” terangnya.
Diran mengungkapkan, dirinya memberikan waktu selama 2 minggu untuk melakukan inventarisir untuk selanjutnya data tersebut diajukan kepada pihak pusat guna dimintai dispensasi pelepasan kawasan. Perusahaan perkebunan diharapkan tidak tinggal diam, tetapi turut mengawal kegiatan tersebut agar dapat cepat selesai.
“Saya optimis, apabila semua pihak bekerja dengan semestinya, maka 20 persen perkebunan rakyat akan tercapai dua tahun lagi dan masyarakat tidak akan melakukan demo karena menuntut haknya. Karena semua pihak dapat menikmati keuntungan dari adanya perkebunan dai Kalteng ini,” jelasnya.
Belum Memihak Rakyat
Sementara itu, Peraturan Daerah (Perda) Kalteng Nomor 5 tahun 2011 tentang Pengelolaan Usaha Perkebunan Berkelanjutan langsung menuai reaksi. Pasalnya, perda tersebut dinilai belum sepenuhnya berpihak pada rakyat.
Perda tersebut dinilai masih menguntungkan para pengusaha dan merugikan rakyat. Karena itu, Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang didesak harus meninjau kembali Perda tersebut.
Direktur Save Our Borneo (SOB) Nordin mengungkapkan hal itu setelah diundang dalam sosialisasi penerapan Perda tersebut bersama sejumlah investor perkebunan sawit di Kalteng. “Dari paparan dan dokumen cetak perda tersebut yang sudah final, terdapat ayat-ayat dalam pasal 18 Perda tersebut yang jelas-jelas sangat merugikan rakyat dan sangat menguntungkan investor perkebunan sawit,” katanya.
Ayat dimaksud tercantum dalam ayat (4) yang menyebutkan, bagi perusahaan perkebunan yang kebunnya telah terbangun tetapi belum melakukan pembangunan kebun bagi masyarakat sekitarnya, secara bertahap segera membangun kebun bagi masyarakat, dengan batasan waktu paling lambat 2 tahun sejak berlakunya Peraturan Daerah ini. Serta ayat (5), lahan untuk pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berasal dari lahan masyarakat sendiri, atau lahan lain yang jelas status kepemilikannya.
Menurut Nordin, yang jadi masalah adalah ayat 4, dimana sebenarnya yang menjadi tuntutan warga selama ini adalah lahan untuk pembangunan kebun masyarakat seharusnya berasal dari HGU (Hak Guna Usaha) perusahaan yang disisihkan untuk masyarakat seluas 20% dari luas HGU yang dimiliki perusahaan.
“Jika ketentuannya adalah seperti ayat 5, dimana Lahan untuk pembangunan kebun masyarakat berasal dari lahan masyarakat sendiri, maka akan terjadi beberapa hal, diantaranya, lahan untuk diversifikasi usaha masyarakat guna keperluan pertanian dan lainnya akan habis tergerus untuk sawit semuanya, sehingga akan lebih menampakan situasi monokultur yang sangat tidak ramah lingkungan. Akibatnya, investor kelapa sawit raksasa dapat mencari kambing hitam untuk menyalahkan rakyat sebagai pelaku kerusakan lingkungan,” jelasnya.
Kemudian, lanjut Nordin, ketahanan pangan dan kemampuan produksi pangan masyarakat secara mandiri ditingkat lokal akan hancur, karena alat produksinya hilang bersamaan dengan sawitisasi massif yang disokong kebijakan perda. Masyarakt tidak bisa lagi berladang, berkebun, berburu, atau lainya karena seluruh lahannya akan dan hanya menjadi kebun sawit, sementara PBS tidak sejengkalpun terusik karena mereka tidak diwajibkan menyerahkan 20% lahan HGU mereka untuk rakyat.
Akibat dari beberapa hal tersebut, tegas Nordin, akan muncul sengketa horizontal antar warga yang saling mengklaim lahan. Selain itu, akan memunculkan bisnis SKT tanah oleh makelar tanah. dan ini akan sangat berbahaya. dalam jangka panjang.
“SOB menyesalkan ayat dalam pasal tersebut yang sangat jelas berpihak kepada perkebunan sawit, bukan kepada rakyat. SOB meyakini ada lobby kuat dari perkebunan sawit untuk menyesatkan ayat-ayat dimaksud. Hal ini karena sepengetahuan SOB bahwa Gubernur Kalteng Teras Narang pernah menyebutkan bahwa lahan 20% untuk warga sekitar adalah dan harus disisihkan dari HGU perusahaan, bukan justru menghantam tanah-tanah rakyat,” tegasnya.
Karena itu, kata Nordin, SOB meminta Gubernur meninjau kembali perda ini, karena sudah lepas dari semangat untuk memberikan keadilan distribusi tanah dan reforma agraria bagi rakyat di Kalteng yang hidup di sekitar perkebunan sawit.
TULIS KOMENTAR DI BAWAH INI