LEAD HARUS SANGAT MENARIK
Ketika Dahlan Iskan belum sesibuk sekarang, dia selalu berjalan
keliling ke meja wartawan. Membaca sekilas berita wartawan di laya
komputer. Sasaran pertama adalah LEAD alias TERAS alias INTRO alias
PEMBUKA alias ALINEA PERTAMA tulisan.
“Lead-mu 6. Cepat diperbaiki sampai 8. Kalau belum 8, nggak bisa
dimuat. Lead harus sembilan,” kata Dahlan Iskan usai membaca beberapa
baris berita salah satu reporter. Teman saya itu cepat-cepat memperbaiki
lead-nya. “Coba saya lihat. Hmm.. lumayan, sudah 7, belum 8. Coba
lagi,” kata Dahlan, bekas wartawan majalah TEMPO, itu.
“Bagaimana kalau kalimat di bawah ini Anda angkat ke atas. Dibuat lebih bagus agar enak dibaca?” usulnya.
Kursus menulis berita macam ini dilakukan Dahlan Iskan, dulu,
terus-menerus di newsroom kami. Sambil kasih kursus, tak lupa Dahlan
Iskan membagi-bagi permen atau kacang goreng: tiap-tiap wartawan satu
atau dua biji. Sedikit tapi merata.
Dahlan suka lead yang spontan, unik, tidak klise. Pembaca sejak awal
harus dibuat tertarik membaca sampai selesai. Dan itu ada teknik
tersendiri.
HUMOR CERDAS
Sebagai orang Jawa Timur, Pak Bos punya koleksi humor berlimpah.
Kebanyakan didengar dari teman-teman, wong cilik, obrolan di warung
kopi. Humor cerdas kerap jadi pembuka (lead) tulisannya.
Contoh: “Di dunia ini ternyata ada empat hal yang tidak bisa diduga: lahir, kawin, meninggal, dan … Gus Dur!”
Selain di lead, humor kerap dipasang Pak Bos di akhir tulisannya.
Bacalah terus karya dahlan, niscaya di akhir atau menjelang akhir ada
kejutan. “Benar-benar mengagetkan,” kata ROHMAN BUDIANTO, redaktur
senior JAWA POS, kini pemimpin redaksi RADAR MALANG.
KALIMAT-KALIMAT PENDEK
Dahlan Iskan suka kalimat-kalimat pendek. Antikalimat panjang, apalagi yang beranak-pinak alias kalimat majemuk bertingkat.
“Bagaimana kalau kalimatmu dipotong? Dibagi dua atau tiga,” ujar Pak Bos kepada seorang pemimpin redaksi (kini bekas).
“Enak mana: kalimat panjang atau pendek?” tanya Pak Bos. “Enak
pendek, Pak Bos,” jawab si pemred yang sebelumnya suka pakai kalimat
majemuk.
Kalimat-kalimat pendek kerap ‘melawan’ aturan tata bahasa Indonesia.
Sebab, kalimat dipotong sebelum waktunya. “Anak kalimat kan tidak bisa
berdiri sendiri?” protes editor bahasa.
Tidak apa-apa, kata Pak Bos. Alasannya, tulisan di koran harus mudah
ditangkap pembaca. Kalau kalimat-kalimat si wartawan terlalu panjang,
pembaca akan capek. Dan dia tidak mau baca koran lagi. Toh, koran bukan
kitab tata bahasa.
Petikan tulisan Dahlan Iskan di JAWA POS, 21 September 2007:
“Saya sering mengajarkan kepada wartawan kami agar jangan mengabaikan
diskripsi. Yakni menceritakan hal-hal detil yang dianggap sepele, tapi
sebenarnya penting.
Sebuah tulisan yang deskripsinya kuat, begitu saya mengajarkan, bisa
membawa pembaca seolah-olah menyaksikan sendiri suatu kejadian.
Deskripsi yang kuat bisa membuat pembaca seolah-olah merasakan sendiri
kejadian itu. Deskripsi yang kuat bahkan bisa menghidupkan imajinasi
pembaca. Imajinasi pembaca kadang lebih hidup daripada sebuah foto.
Inilah salah satu kunci kalau jurnalistik tulis masih diharapkan bisa bertahan di tengah arus jurnalistik audio visual.
Saya juga selalu mengajarkan agar dalam menulis kalimat-kalimatnya
harus pendek. Kalimat pendek, begitu saya mengajar, akan membuat tulisan
menjadi lincah.
Kalimat-kalimat yang panjang membuat dada pembaca sesak. Semakin
pendek sebuah kalimat, semakin membuat tulisan itu seperti kucing yang
banal. Apalagi kalau di sana-sini diselipkan kutipan omongan orang.
Kutipan itu — direct quotation — juga harus pendek-pendek.
Mengutip kata seorang sumber berita dalam sebuah kalimat panjang sama
saja dengan mengajak pembaca mendengarkan khotbah. Tapi, dengan
selingan kutipan-kutipan pendek, tulisan itu bisa membuat pembaca
seolah-olah bercakap-cakap sendiri dengan sumber berita.”
MENULIS SEPERTI BERBICARA
Gaya bicara Pak Bos hampir sama dengan gayanya menulis. Ini membuat
beliau tidak susah mengalihkan wacana di kepala ke dalam tulisan.
Spontanitas, humor cerdas, cerita-cerita menarik, keluar begitu saja.
KALIMAT SEDERHANA, NARATIF
Kalimat-kalimat sederhana memang jadi ciri khas Dahlan Iskan. Tulisannya selalu bertutur alias naratif.
Sebelum ada gembar-gembor jurnalisme naratif, jurnalisme baru,
jurnalisme sastrawi, Dahlan Iskan sudah melakukannya sejak 1980-an.
Berbeda dengan GOENAWAN MOHAMAD yang puitis, berusaha menemukan kata
yang benar-benar pas, kalimat-kalimat Dahlan Iskan mengalir begitu saja.
“Tulisannya gampang diikuti, enak pokoknya,” ujar AAN ANDRIYANI, staf sebuah dealer sepeda motor di Surabaya, kepada saya.
Bahasa Pak Bos tidak ‘ndakik-ndakik’, penuh kata asing, sok ilmiah,
mbulet… karena dia ingin pembaca koran, ya, semua warga, menangkap apa
yang ditulisnya. Buat apa menulis kalau tidak dibaca karena
kalimat-kalimatnya mbulet gak karuan?
MEMORI YANG SANGAT KUAT
Kalau wartawan-wartawan lain sibuk mencatat, merekam, jemprat-jepret…
Dahlan Iskan tenang-tenang saja saat wawancara. Dahlan Iskan tidak
pernah mencatat kata-kata sumber atau data-data.
Dia menyimak penjelasan sumber dengan serius. Sekali-sekali ia
menukas atau ‘memancing’ agar si sumber mengeluarkan pernyataan atau
kata-kata yang ‘hidup’. Inilah bedanya dengan wartawan biasa!
Saya sendiri terkejut melihat Dahlan Iskan tidak mencatat atau
merekam wawancaranya dengan pejabat atau sumber mana pun. Mencatatnya,
ya, di otak saja. Tapi besok, silakan baca koran-koran. Dijamin tulisan
Dahlan Iskan jauh lebih bagus, hidup, enak, lengkap, dibandingkan
wartawan-wartawan lain yang supersibuk. Tulisannya bisa tiga bagian
panjang, sementara reporter lain hanya mampu membuat tulisan pendek.
Data-data Dahlan lengkap. Interpretasi dan ramuannya yang khas
membuat tulisannya lebih bernas. “Itu bakat Pak Bos, nggak ada
sekolahnya,” kata SLAMET URIP, bekas wartawan senior JAWA POS, yang juga
‘suhu’ para wartawan muda di Grup Jawa Pos.
BANYAK MEMBACA
Dahlan Iskan pembaca yang rakus. Buku tebal ia habiskan hanya dalam
beberapa jam saja. Kalau perlu, dia melekan (bergadang) demi menamatkan
bacaannya.
Novel AROK DEDES (Pramoedya Ananta Tour), misalnya, diselesaikan
Dahlan Iskan hanya dalam tempo beberapa jam saja. Lalu, dia buat catatan
tentang novel itu. Dahlan juga bikin catatan tentang novel SUPERNOVA
(Dee) setelah melahap novel itu dalam hitungan beberapa jam saja.
Mengapa Dahlan suka baca buku-buku tebal di ruang redaksi, disaksikan
wartawan? Saya pikir, secara tidak langsung Pak Bos mau mengajarkan
bahwa wartawan/redaktur harus banyak baca. Tulisan yang bagus hanya
lahir dari tangan mereka-mereka yang rakus baca. Kenapa tulisan wartawan
sekarang umumnya jelek, kering, datar-datar? Salah satunya, ya, karena
kurang baca.
TURUN KE LAPANGAN, KERJA KERAS
Tulisan Dahlan Iskan hidup karena berangkat dari pengalaman sendiri.
Based on his own experiences! Apa yang dilihat, didengar, dihidu,
diraba, dikecap… itulah yang ditulis.
Dahlan sangat mobil. Pagi di Surabaya, siang Jakarta, sore, makassar,
malam mungkin di Singapura. Besoknya Tiongkok, luas Amerika… dan
seterusnya. Ini membuat Pak Bos sangat kaya pengalaman, kaya
penglihatan, kaya wawasan. Dia tinggal ‘memanggil’ memorinya dan jadilah
tulisan yang hidup.
Dahlan Iskan pernah membuat tulisan menarik tentang pengalaman naik
pesawat supersonik CONCORDE yang kini sudah almarhum itu. Dia bikin
pembaca seakan-akan ikut menikmati pesawat supercepat, supercanggih,
supermewah, buatan Prancis itu.
KUASAILAH BANYAK BAHASA
Di balik penampilan yang sederhana–sepatu kets, kemeja tidak
dimasukkan, tak pakai ponsel–Dahlan Iskan pribadi yang dahsyat. Sangat
cepat belajar! Bahasa Tionghoa yang sulit, aksara hanzhi yang aneh dan
ribuan jumlahnya, ditaklukkan Dahlan dengan modal tekad baja. “Saya
harus bisa,” katanya.
Maka, dia panggil guru privat, les di Graha Pena. Tak puas di
Surabaya, Dahlan pindah domisili di Tiongkok selama beberapa bulan agar
bisa berbahasa Tiongkok. Beberapa saat kemudian, Dahlan Iskan sudah
kirim CATATAN DARI TIONGKOK secara bersambung. Sangat menarik. Respons
pembaca luar biasa.
CINTAILAH SASTRA
Ingat, Dahlan Iskan ini bekas wartawan TEMPO. Majalah yang dibuat
oleh tangan-tangan trampil berlatar sastrawan. Goenawan Mohamad, Bur
Rasianto, Syubah Asa, Putu Wijaya, Isma Sawitri, dan nama-nama besar
lainnya.
Mereka-mereka ini praktisi sastra Indonesia. Mereka peminat kata.
Terbiasa membuat kalimat yang indah, yang tidak klise. Dahlan Iskan,
meski jarang menulis puisi atau novel, jelas seorang sastrawan. Dia
bersastra lewat reportase atau kolom-kolomnya di koran.
Pak Bos pun budayawan. Tak heran, di Surabaya dia giat sekali dalam
komunitas dan kebudayaan Tionghoa. Dia pun ketua umum persatuan olahraga
barongsai yang akhir 2006 silam sukses menggelar kejuaraan dunia di
Surabaya. Kiprah semacam ini menambah ‘basah’ tulisan-tulisannya.
MENULIS LANGSUNG JADI (PRESSKLAAR)
Dahlan Iskan tidak butuh waktu lama untuk menulis. Tak sampai satu
jam Pak Bos sudah menyelesaikan tulisan panjang untuk halaman satu JAWA
POS.
“Sudah, silakan dilihat, silakan diedit. Jangan lupa kasih judul,” begitu kata-kata khas Dahlan Iskan usai membuat tulisan.
Dahlan tidak pernah membaca ulang, apalagi mengubah
kalimat-kalimatnya. Sekali menulis, selesai, dan selanjutnya urusan
redaktur untuk mengecek salah ketik dan sebagainya. Dimuat atau tidak,
urusan redaksi.
Home
Serba Serbi
Kiat Menulis ala Dahlan Iskan
Kiat Menulis ala Dahlan Iskan
Senin, Mei 21, 2012 | komentar (1)
Artikel tentang Kiat Menulis ala Dahlan Iskan. diposting oleh Unknown pada hari Senin, Mei 21, 2012.Tak lengkap rasanya jika kunjungan anda di pehu.web.id. ini tanpa meninggalkan sedikit jejak. Semoga artikel Kiat Menulis ala Dahlan Iskan ini bermanfaat. Terimakasih...
1 KOMENTAR
Inspiratif! Bahasa Dahlan Iskan memang renyah dan mengalir.
TULIS KOMENTAR DI BAWAH INI