Kadishut Kalteng pesimis tentang 991 jumlah perusahaan perkebunan dan pertambangan bermasalah di Kalteng, seperti dilansir Kemenhut. Jumlah ini bisa berkurang karena banyak pengajuan IPKH dan IPPKH sedang dalam proses.
Dinas Kehutanan (Dishut) Kalteng melansir, dari 338 perusahaan perkebunan besar (PBS) kelapa sawit yang izinnya diterbitkan Bupati/Walikota di Kalteng, hanya 61 PBS yang sudah mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan (IPKH) dari Menteri Kehutanan (Menhut), dengan luasan mencapai 800 ribu hektar (ha).
Kepala Dishut Kalteng Sipet Hermanto di Palangka Raya, Kamis (5/5), mengatakan, jumlah IPKH tersebut kemungkinan akan bertambah, karena masih banyak perusahaan yang mengurus proses IPKH di Kemenhut.
Sementara di sektor pertambangan, lanjut Sipet, hingga kini baru ada 14 perusahaan pertambangan yang mendapatkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Menhut.
Namun demikian, katanya, saat ini masih ada IPPKH untuk pertambangan sedang dalam proses di Kemenhut. Hanya saja, terkait jumlahnya, pihaknya belum mengetahui secara jelas.
Perusahaan pertambangan di wilayah Kalteng yang mengantongi Izin Usaha Pertambangan/Kuasa Pertambangan (IUP/KP) mencapai 602 perusahaan. Sementara pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) berjumlah 15 perusahaan dan Kontrak Karya (KK) enam perusahaan.
Menurut Sipet, perusahaan pertambangan juga banyak yang sudah memiliki izin prinsip pinjam pakai kawasan hutan. Karena, sebelum IPPKH diterbitkan, perusahaan pertambangan harus memiliki izin prinsip yang di dalamnya mengatur dua hal, tata batas areal pinjam pakai kawasan dan inventarisasi potensi tegakan kayu 20m ke atas.
Dengan kondisi beberapa perusahaan seperti itu, baik perkebunan dan pertambangan yang sudah mengantongi IPPKH dan IPKH tersebut, artinya tidak semua ilegal. Sebab, kata Sipet, masih banyak perusahaan pertambangan maupun perkebunan yang sudah memegang perizinan dari Kemenhut. “Apakah itu IPKH, IPPKH atau izin prinsip pinjam pakai kawasan,” katanya.
Karena itu, Sipet merasa kurang yakin terhadap jumlah perusahaan yang dianggap bermasalah di Kalteng, sebagaimana dilansir Kemenhut. “Jika 911 perusahaan pertambangan dan perkebunan yang dinyatakan Kemenhut sebagai perusahaan ilegal, masih perlu diverifikasi dan dilakukan pendalaman,” kata Sipet.
Menurutnya, indikasi yang disampaikan Kemenhut perlu dipelajari secara seksama, karena faktanya sebagian sudah memiliki IPKH dan IPPKH dari Kemenhut. ”Malahan baru-baru ini Kemenhut sudah menerbitkan IPKH untuk perkebunan dan IPPKH untuk pertambangan di Kalteng, sehingga dari 911 perusahaan tersebut perlu dilakukan telaah,” katanya.
Sebelumnya, Menhut Zulkifli Hasan di Jakarta, baru-baru ini, melaporkan bahwa di Kalteng telah ditemukan 911 kasus pelanggaran kawasan hutan.
Zulkifli mengungkapkan ada 282 unit perusahaan perkebunan beroperasi tanpa izin dengan total luas lahan yang digunakan 3.934.963ha, sedangkan untuk perusahaan pertambangan sebanyak 629 unit dengan luas lahan yang digunakan 3.570.518,20ha.
Temuan ini telah didalami dan dikaji tim gabungan dari Kemenhut dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Tim Gabungan telah mendalami sembilan perusahaan yang membuka tambang di kawasan hutan lindung, PT BBP, PT AKT, PT BST, PT DSR, PT SKEJ, PT HM, PT KPS, PT RC, dan PT KSK.
Selain itu, ada 54 perusahaan perkebunan yang tidak mengantongi IPKH dari Menhut dengan luas mencapai 623.001ha. Rinciannya, di Kabupaten Barito Utara satu kasus seluas 5.000ha, Barito Selatan satu kasus seluas 20.000ha, dan Barito Timur tiga kasus dengan luas 19.500ha.
Di Kabupaten Kapuas sembilan kasus dengan luas 150.410ha, Gunung Mas enam kasus dengan luas 83.770ha, dan Katingan lima kasus seluas 71.900ha.
Untuk Kabupaten Kotawaringin Timur ada 13 kasus dengan luas 107.276ha, Seruyan enam kasus seluas 40.445ha, Kotawaringin Barat empat kasus seluas 38.700ha, dan Lamandau enam kasus seluas 86.000ha.
Beberapa perusahaan perkebunan tersebut, di antaranya PT MASK (20.000ha), PT MSS (19.500ha), PT SP (15.000ha), PT RASR (20.000ha), PT KAL (20.000ha), PT DAM (20.000ha), PT ATA (15.000ha), PT TPA (15.000ha), PT MSAL (15.000ha), PT KKK (17.000ha), PT KDP (17.500ha), dan PT GRMK (16.200ha).
Zulkifli mengatakan, nama-nama perusahaan tersebut sengaja dirahasiakan untuk kepentingan penyelidikan lebih lanjut. "Kami tidak sebut lengkap namanya, karena baru indikasi tentu akan ditindaklanjuti," katanya.
Selain jumlah perusahaan, kata Zulkifli, Tim Gabungan juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan penyalahgunaan wewenang, korupsi, dan kolusi oleh aparat di daerah terkait dengan penerbitan izin kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Prioritasnya untuk enam kabupaten di Kalimantan, dua dari Kalteng inisialnya Kabupaten B dan Kabupaten S
(www.khairulsblog.co.cc)