Jalan hidupku dituliskan dengan
aksara sepi dalam buku panduan takdir.
Aku melihat, kata-kata sepi, sendiri,
dan terasing mencakup hampir
seluruh buku takdirku.
Tuhan menuliskannya dengan santai,
seperti sedang melukis
dengan senyum
memberi aku takdir kesepian.
Aku pun tersenyum. Pernah aku bertanya,
seperti seorang anak lugu nan polos.
“Apa itu sendirian Tuhan?
”
Tuhan mendekapku, membelai rambutku pelan lantas bersuara lembut,
“sendiri adalah ketika engkau tidak bersama seorangpun.”
“Mengapa aku tidak ditakdirkan untuk bersama seseorang?” tanyaku.
“Karena Aku ingin engkau terus bersama-Ku”
Dulu aku senang dengan jawaban itu
aku tidak pernah bertanya mengapa jika Tuhan
mentakdirkan aku
sepi agar terus bersama-Nya
lantas kenapa aku harus turun ke dunia manusia.
Aku sudah cukup senang ketika dulu aku masih mampu tertawa,
namun sekarang rasa tawa itu seperti roti hambar lagi tawar.
Aku lebih banyak merenung dan menyendiri,
sesekali menangis.
Aku ingin protes,
mengapa aku harus turun.
Rasa kebersamaan yang dulu terasa begitu jauh,
aku merasa seperti sebuah ciptaan.
Aku ingin kembali ketika aku belum tercipta.
Mana yang lebih kekal, kosongan atau keberadaan.
Ada akan mampu hilang, namun kekosongan tidak
akan pernah hilang.
Tak akan pernah hilang suatu
ketiadaan daripada kekosongan.
Hampa adalah hampa,
demikianlah adanya.
Sekarang aku merasa begitu sendiri. Aku menikmati kesendirianku,
di tengah keramaian aku masih merasa sepi.
Mungkin memang sudah menjadi takdirku untuk selalu seperti ini.
Aku tidak menggugatnya, aku merasakan, mempelajari,
kemudian menikmati.
Aku terasing di antara semua tawa,
aku melihatnya seperti sebuah keterasingan.
Kegersangan.
Ketidakberdayaan. Kehampaan.
Aku menggenggam tanganku,
mengamit keduanya.
Tak ada apapun di sana, cuma ada kosong.
Demikian juga aku, bergenggaman, tak ada perasaan apapun di sana,
terkecuali hampa.
Aku duduk tegak, menghela napasku, memejamkan mata.
Menikmati kesendirian...